sesuatu yang manis akan terasa lebih manis jika dirasakan bersama

Jumat, 18 Mei 2012

pulang


Perjalanan hari ini sudah cukup menyita hampir seluruh tenagaku. Sepertinya sendi-sendi dalam tulangku berusaha memprotesku untuk dapat sejenak berhenti dan menggeliatkan tubuh lelah ini. Namun kutengok jam di tanganku sudah menunjukkan angka 20.09 WIB. Gila! Aku sudah sangat terlambat pulang kerumah.

Sepanjang perjalanan tak henti-henti aku mengutuk diriku sendiri, yang tak mampu melepaskan segala keinginanku untuk pergi, sedangkan waktu yang ada hanyalah beberapa jam saja.
Ah sudahlah, sudah terlambat, biarkan terlambat, ini bukan sesuatu yang biasa kulakukan. Paling juga suamiku akan memperlihatkan muka masamnya dan pura-pura tidak mendengar saat aku bertanya.
Lampu merah seakan berjalan begitu lambat, genggaman tanganku seakan terasa gatal untuk segera memacu motor tua yang sedang kunaiki. Rintik gerimis seakan mengisyaratkan tangisan langit.. merendakan berjuta kesedihan melihat seorang ibu yang tak jua pulang demi anaknya.

Bullshit.. Kampret.. hanya kata itu sebagai kata makian yang tak pernah lepas dari benakku. Tak berhenti aku memaki diri sendiri. Saat lampu berganti warna menjadi hijau, kupacu motorku menderu menembus rintik hujan. Kecepatanku sedikit kuturunkan melewati kelokan Pringsewu.. anganku sejenak melayang pada pertemuan sore tadi, pertemuan yang begitu membekas hingga menyakiti urat dalam hatiku.

“Saya mohon mbak menjauhi suami saya..”, kata wanita didepanku.

Aku terhenyak.. meskipun aku sudah menduga akan ada kalimat seperti ini, tapi aku sama sekali tidak menduga bahwa kalimat itu akan keluar secepat dan setegas itu.
Bukan aku jika tak bisa menyembunyikan ekspresiku, aku adalah pemain watak terbaik semasa kuliah dulu.

“Maksud mbak apa? Siapa suami Anda?”, tanyaku tenang. 

Dia masih dengan sorot mata yang sama sebelumnya, penuh amarah.
“Suami saya Cokro Buwono, manajer di kantor bla bla bla… Sudahlah, saya hanya minta mbak menjauhi suami saya. Titik. Dan seharusnya mbak melakukan itu karena saya yakin mbak mempunyai moral yang baik. Permisi”, terang wanita itu sambil berdiri dan berlalu.

Aku termenung sejenak, melepaskan segala kebingungan dan kegusaranku. Tapi masih juga bibirku mengucapkan kata …sialan
Ku ambil ponselku, kutekan beberapa angka dan kutekan tanda hijau untuk memanggil..
Hmmm, lagu Firman - Kehilangan, nada sambung favoritnya

"Halo Sugar... Tumben ne, ada apa", suara renyah laki-laki diseberang. 

"Siang juga Bang, istrimu habis dari sini. Aku ga dikasih kesempatan untuk membela diri. Selesaikan urusanmu  dengan mereka. Aku bukan kekasihmu, dan tidak akan pernah menjadi kekasih siapapun....". 

Kemarahanku seperti tersulut siraman bensin saat mendengar jawabannya.
"Tenang Sugar, istriku bisa kuatasi. Justru dengan peristiwa tadi aku makin aman, karena dia tidak tahu dengan siapa sebenarnya aku berhubungan selama ini".
"Kampret! Aku bukan pembantumu, bukan topengmu. Selesaikan semuanya, aku tak peduli kau hentikan kerjasamamu dengan suamiku. Aku ga mau lagi!", geramku seraya menutup pembicaraan.
Ahhhhh... Cukup sudah hari penuh makin ini.
Tiba di rumah, aku merasa lelah, rindu dengan pelukan bungsuku dan celotehnya yang penuh ekspresi.
Kelelahan telah menjamahku begitu dalam

Cinta…. Aku pulang…





4 komentar:

  1. Cerita yg menarik :)
    mampir jg k blog sederhana saya :)
    http://mpizz.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. kalau pergi inget rumah..maka akan inget pulang...
    jangan terlambat lagi ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih kunjungannya mbak is sayang :D
      maklum ane bukan keong, yang bawa rumahnya kemana-mana
      hehehehe..

      Hapus

tinggalkanlah jejak katamu sahabat... jangan tinggalkan bom kata, tapi tinggalkan sesuatu yang manis untuk berbagi.. ^_^
kunjungan balasan akan diteteskan secepatnya..