Perjalanan hari
ini sudah cukup menyita hampir seluruh tenagaku. Sepertinya sendi-sendi dalam
tulangku berusaha memprotesku untuk dapat sejenak berhenti dan menggeliatkan
tubuh lelah ini. Namun kutengok jam di tanganku sudah menunjukkan angka 20.09 WIB. Gila! Aku sudah sangat terlambat
pulang kerumah.
Sepanjang
perjalanan tak henti-henti aku mengutuk diriku sendiri, yang tak mampu
melepaskan segala keinginanku untuk pergi, sedangkan waktu yang ada hanyalah
beberapa jam saja.
Ah sudahlah,
sudah terlambat, biarkan terlambat, ini bukan sesuatu yang biasa kulakukan.
Paling juga suamiku akan memperlihatkan muka masamnya dan pura-pura tidak
mendengar saat aku bertanya.
Lampu merah
seakan berjalan begitu lambat, genggaman tanganku seakan terasa gatal untuk
segera memacu motor tua yang sedang kunaiki. Rintik gerimis seakan
mengisyaratkan tangisan langit.. merendakan berjuta kesedihan melihat seorang
ibu yang tak jua pulang demi anaknya.
Bullshit..
Kampret.. hanya kata itu sebagai kata makian yang tak pernah lepas dari
benakku. Tak berhenti aku memaki diri sendiri. Saat lampu berganti warna
menjadi hijau, kupacu motorku menderu menembus rintik hujan. Kecepatanku
sedikit kuturunkan melewati kelokan Pringsewu.. anganku sejenak melayang pada
pertemuan sore tadi, pertemuan yang begitu membekas hingga menyakiti urat dalam
hatiku.
“Saya mohon mbak
menjauhi suami saya..”, kata wanita didepanku.
Aku terhenyak.. meskipun aku
sudah menduga akan ada kalimat seperti ini, tapi aku sama sekali tidak
menduga bahwa kalimat itu akan keluar secepat dan setegas itu.
Bukan aku jika tak bisa menyembunyikan ekspresiku, aku
adalah pemain watak terbaik semasa kuliah dulu.
“Maksud mbak apa? Siapa suami Anda?”, tanyaku tenang.
Dia
masih dengan sorot mata yang sama sebelumnya, penuh amarah.
“Suami saya Cokro Buwono, manajer di kantor bla bla bla…
Sudahlah, saya hanya minta mbak menjauhi suami saya. Titik. Dan seharusnya mbak
melakukan itu karena saya yakin mbak mempunyai moral yang baik. Permisi”,
terang wanita itu sambil berdiri dan berlalu.
Aku termenung sejenak, melepaskan segala kebingungan dan
kegusaranku. Tapi masih juga bibirku mengucapkan kata …sialan…
Ku ambil ponselku, kutekan beberapa angka dan kutekan tanda hijau untuk memanggil..
Hmmm, lagu Firman - Kehilangan, nada sambung favoritnya
"Halo Sugar... Tumben ne, ada apa", suara renyah laki-laki diseberang.
"Siang juga Bang, istrimu habis dari sini. Aku ga dikasih kesempatan untuk membela diri. Selesaikan urusanmu dengan mereka. Aku bukan kekasihmu, dan tidak akan pernah menjadi kekasih siapapun....".
Kemarahanku seperti tersulut siraman bensin saat mendengar jawabannya.
"Tenang Sugar, istriku bisa kuatasi. Justru dengan peristiwa tadi aku makin aman, karena dia tidak tahu dengan siapa sebenarnya aku berhubungan selama ini".
"Kampret! Aku bukan pembantumu, bukan topengmu. Selesaikan semuanya, aku tak peduli kau hentikan kerjasamamu dengan suamiku. Aku ga mau lagi!", geramku seraya menutup pembicaraan.
Ahhhhh... Cukup sudah hari penuh makin ini.
Tiba di rumah, aku merasa lelah, rindu dengan pelukan bungsuku
dan celotehnya yang penuh ekspresi.
Kelelahan telah menjamahku begitu dalam
Cinta…. Aku pulang…